Selasa, 28 September 2010

Perkumpulan Suami Istri Takut Tuhan

Fenomena “Suami-Suami takut Istri” ataupun “Forum Istri Korban Kekerasan Suami” semakin menggejala pada masa sekarang ini. Fenomena ini tentu menarik dicermati sebab menyangkut “lembaga” yang didirikan oleh Tuhan sendiri. Hampir semua orang meyakini, apapun agamanya bahwa perkawinan adalah karya Allah didalam kehidupan manusia. Itu dapat kita amati bila melihat undangan perkawinan yang diberikan bagi kita, selalu memuat: “Dipersatukan Allah”. Kitab Efesus secara gamblang menyatakan hubungan suami istri adalah gamabaran dari hubungan Kristus dan jemaat. Oleh sebab itu untuk memaknai kehidupan suami dan istri seyogyanyalah kita melihat dulu apa yang dikatakan Alkitab tentang hubungan Kristus dan Jemaat. Hal ini perlu dilakukan supaya kita jangan terjebak dalam pemahaman bahwa faktor manusialah yang menjadi fokus dalam hubungan Suami-Istri, melainkan hubungan suami-istri harus dilihat sebagai dampak dari hubungan Kristus dan Jemaat.

Bila menilik sejenak kitab Efesus yang menjadi dasar renungan ini, maka mengikuti para pakar Perjanjian Baru, kitab ini secara keseluruhan dapat dibagi menjadi dua bagian besar, yakni Pasal 1-3 dan Pasal 4-6. Pasal 1-3 memuat: Posisi Orang Percaya di Dalam Kristus, dan Pasal 4-6 memuat: Pola Kehidupan atau perilaku orang percaya sehubungan dengan posisinya yang berada di dalam Kristus. Hal ini penting menjadi titik tolak memahami nas khotbah Efesus 5:22-33, sehinggan pemahaman yang harus dikeluarkan dari teks tersebut harus tetap dalam bingkai “di dalam Kristus” artinya teks ini tidak akan berbicara banyak bagi orang yang belum di dalam Kristus, meskipun demikian teks ini akan memiliki fungsi kesaksian yang kuat bagi orang yang belum di dalam Kristus.

Seruan atau ajakan yang dikemukakan di dalam teks khotbah ini, baik kepada istri maupun kepada suami selalu diperhadapakan dengan perlakuan terhadap Tuhan. Tak pelak lagi, itu memungkinkan kita untuk memahami bahwa tindakan atau perlakuan yang diharapkan muncul dari diri suami atau istri dalam berperilaku didalam hubungan suami istri, harus keluar dari pengalamannya hidup bersama Tuhan. Dengan kata lain, bila pengalaman hidup bersama Tuhan sangat miskin, maka sangat mungkin sekali hubungan suami istri yang ideal akan sangat sulit direalisasikan. Dengan demikian faktor penting yang menjadi seruan utama dalam nas ini bukan lagi bagaimana sikap kita terhadap suami atau istri melainkan bagaimana kita hidup didalam pengalaman bersama Tuhan.

Seorang istri yang menjalin hubungan dengan suaminya tetapi tidak memiliki pengalaman hidup dengan Tuhan di dalam jemaat maka dia tidak akan mampu melihat ketertundukan seperti apa yang harus dia lakukan kepada suaminya. Demikian pula seorang suami yang tidak punya pengalaman hidup dalam kasih Kristus seperti kepada jemaat juag tidak akan mengerti seperti apa dia akan bertindak mengasihi istrinya. Ini perlu digarisbawahi, dengan demikian penyadaran yang harus serta merta di dalam diri orang percaya adalah mengembalikan posisinya hidup sebagi jemaat yang bertanggung jawab. Kehidupan berjemaat yang sehat akan membangkitkan kembali pengalaman hidup bersama Tuhan. Bila kita merasakan kembali sukacita dalam kehidupan berjemaat yang baik, maka luapan sukacita itulah yang kemudian akan mengalir dalam hubungan suami istri.

Seorang istri yang dipanggil untuk tunduk kepada suami, akan menerimanya dalam luapan sukacita sebab ia memiliki pengalaman betapa ketertundukan jemaat kepada Kristus adalah kunci untuk mendapatkan sukacita dan damai sejahtera yang tak terkira. Demikian pula panggilan bagi para suami untuk mengasihi istri akan disambut dengan sukacita oleh para suami karena pengalamannya dalam menghidupi kasih Kristus kepada jemaat membuktikan ucapan syukur dan pemuliaan yang tak habis-habisnya dari jemaat kepada Kristus, dan itu akan menjadi bagian yang akan para suami nikmati dalam kehidupan hubungan suami istri.

Akhirnya, pengalaman suami dan istri hidup dalam persekutuan yang benar didalam jemaat akan melahirkan tindakan yang benar dalam hubungan suami istri. Ketertundukan, rasa hormat, mengasihi adalah buah perilaku yang otomatis keluar dari suami atau istri karena dia berakar dan bertumbuh di dalam takut akan Tuhan. Ketertundukan bukan lagi supaya mendapati hubungan yang menyenangkan antara suami istri, mengasihi bukan lagi suatu upaya untuk memperoleh kebaikan dari istri sebaliknya ketertundukan dan kasih adalah identitas yang melekat pada istri dan suami sebab keduanya tidak memiliki sesuatu yang lain yang dia bisa tunjukkan karena itu mengalir dari Kristus yang hidup di dalam dirinya. Amin.

Jumat, 10 September 2010

“Satu tubuh, … satu Roh, … satu Tuhan, satu iman, satu baptisan, satu Allah dan Bapa dari semua, …”.

iman yang menyelamatkan – the saving faith – memiliki tiga unsur utama – notitia, assensus, dan fiducia. Ketiganya membentuk urutan yang logis. Iman dimulai dengan notitia atau pengetahuan. Notitia memimpin kepada assensus atau pengakuan intelektual terhadap kebenaran Injil. Akhirnya, assensus mengantar kepada fiducia atau komitmen, penyerahan diri kepada kebenaran Injil. Pandangan ini bukan cuma produk pikiran manusia, tapi kesimpulan dari penelitian yang bertanggung jawab terhadap ajaran Alkitab tentang iman.

Iman yang sejati tidaklah buta, tapi bertumpu pada pengetahuan tentang apa atau siapa yang diimani. Para penulis PB kadangkala mengenakan kata “pistis” kepada Allah untuk menyatakan karakter-Nya. Di sini, “pistis” berarti kesetiaan, seperti di Roma 3:3: “Jadi bagaimana, jika di antara mereka ada yang tidak setia, dapatkah ketidaksetiaan itu membatalkan kesetiaan Allah?”. Juga di 1 Korintus 1:9: “Allah, yang memanggil kamu kepada persekutuan dengan Anak-Nya Yesus Kristus, Tuhan kita, adalah setia”. Begitu juga di 2 Timotius 2:18: “Jika kita tidak setia, Dia tetap setia, karena Dia tidak dapat menyangkal diri-Nya”. Yang terakhir ini adalah bagian dari kumpulan pernyataan yang dibuka dengan rumusan: “Benarlah perkataan ini” (ay. 11a). Terjemahan yang lebih tepat: “berdiri teguhlah perkataan ini” atau “dapat dipercayalah perkataan ini” (Yun. pistos ho logos). Perkataan ini tak tergoyahkan dan dapat dipercaya sepenuhnya karena berakar pada karakter Allah yang setia. Kesetiaan Allah dipertaruhkan di dalamnya. Iman yang sejati bertumpu pada pengetahuan tentang karakter Allah yang setia.

Di Roma 10:17, Rasul Paulus menyatakan bahwa “iman timbul dari pendengaran, dan pendengaran oleh firman Kristus”. Lahirnya iman dimulai dari mendengar Injil, yang mengisi akal budi kita dengan notitia atau pengetahuan. Pengetahuan tentang siapa Kristus dan apa yang telah dikaryakan-Nya bagi manusia.

Pada beberapa kesempatan, Rasul Paulus menggunakan kata “pistis” dengan kata sandang, untuk menyatakan seluruh bangunan ajaran dan keyakinan Kristen. Misalnya, dalam Galatia 1:23. Di sana, sang rasul berbicara tentang iman yang diberitakannya, yang sebelumnya pernah hendak dibinasakannya. Dalam 2 Korintus 13:5, Rasul Paulus mendorong para pembacanya untuk memeriksa diri sendiri, apakah mereka “tetap tegak di dalam iman”. Pernyataan ini bisa berarti “tetap beriman,” namun lebih tepat dipahami sebagai “tetap memegang apa yang selama ini diimani.” Jadi, tercakup dalam iman pengetahuan tentang pokok-pokok keyakinan Kristen. John Calvin menyebutnya “pengetahuan tentang Allah”.

Notitia diikuti dengan assensus atau pengakuan intelektual terhadap klaim-klaim kebenaran yang termuat dalam pesan Injil. Seperti tertulis dalam Roma 10:9: “Jika kamu mengaku dengan mulutmu, bahwa Yesus adalah Tuhan, dan percaya dalam hatimu, bahwa Allah telah membangkitkan Dia dari antara orang mati, maka kamu akan diselamatkan”. Assensus berarti “percaya bahwa,” “believe that,” atau “have faith that.”

Bagaimana pun, iman tidak berakhir pada notitia atau assensus. Iman yang menyelamatkan mencakup komitmen atau penyerahan diri. Untuk diselamatkan tidak cukup “percaya bahwa,” “believe that,” tapi harus sampai “percaya kepada,” “believe in,” atau “believe unto.” Seperti tertulis dalam Yohanes 3:16: “… setiap orang yang percaya kepada-Nya tidak binasa, melainkan beroleh hidup yang kekal”.

Kita dapat melukiskan pergerakan dari notitia dan assensus ke fiducia dengan sebuah analogi dari kehidupan sehari-hari. Sadarkah Saudara bahwa setiap kali menduduki sesuatu, biasanya kursi, kita sudah melewati proses iman? Saya baru benar-benar menyadarinya ketika bersama rekan-rekan sepelayanan berkunjung ke rumah sepasang suami-isteri di daerah Gunung Kidul. Namanya Mbah Karso dan Mbah Karso Putri. Rumahnya bukan cuma sederhana, tapi benar-benar reyot dan lapuk. Kayu-kayunya tampak sudah sangat tua dan keriput, setua dan sekeriput Mbah Karso sendiri. Begitu juga perabot yang ada di dalamnya. Ketika Mbah Karso Putri mempersilakan kami duduk di sebuah dipan kayu, tanpa berpikir panjang saya menjawab, “Terimakasih, tidak usah Mbah, kami berdiri saja.” Tanpa berpikir panjang bukan berarti tidak berpikir sama sekali. Dalam tempo yang sangat singkat itu, sepersekian detik, berlangsung proses iman. Secara reflek mata saya langsung mengamati dipan kayu yang ditunjuk Mbah Karso Putri. Pengamatan itu memberikan informasi kepada akal budi saya: reyot, lapuk, kerangka tidak kokoh, risiko patah tinggi kalau diduduki. Karena itu, saya langsung memutuskan: saya tidak akan mendudukinya, supaya dipan itu tidak patah. Dalam tempo sepersekian detik, berlangsung proses iman. Proses itu berhenti sampai di notitia atau pengetahuan. Setelah peristiwa itu saya merenung, tentu bisa lain ceritanya jika pengamatan saya terhadap dipan itu menginformasikan bahwa ia cukup kokoh untuk menyangga beban tubuh saya. Saya mungkin akan memutuskan untuk mendudukinya. Itu berarti proses iman saya tidak berhenti di notitia, tapi sampai di assensus atau pengakuan bahwa dipan itu sanggup menyangga beban tubuh saya. Dan jika akhirnya saya bertindak menduduki dipan itu, sehingga saya benar-benar menikmati kekuatannya menyangga tubuh saya, berarti proses iman saya sempurna – sampai di fiducia.

Begitu juga dengan iman yang menyelamatkan. Proses iman itu dimulai dengan notitia atau pengetahuan tentang Kristus dan karya-Nya. Diikuti dengan assensus atau pengakuan bahwa hal itu benar. Akhirnya, disempurnakan dengan fiducia atau komitmen kepada kebenaran tersebut – penyerahan diri kepada Yesus sang Mesias dan Tuhan.

Dalam terang pemahaman akan anatomi iman yang menyelamatkan ini, apa arti satu dalam iman? Itu berarti kita sama-sama bertekad untuk setia mempelajari firman Tuhan, memegangnya, dan menghidupinya, sehingga seluruh kebenaran Allahlah yang mendasari perilaku kita, menuntun langkah kita, dan membentuk karakter kita. Secara praktis, itu berarti kita harus mendisiplin diri untuk membaca Alkitab, mengikuti pembinaan-pembinaan di gereja ini, melakukan pesan-pesan yang disampaikan dari mimbar , bersedia ditegur, dan mengambil bagian dalam pelayanan gerejawi.

Rabu, 08 September 2010

Satu tubuh, … satu Roh, … satu Tuhan, satu iman, satu baptisan, satu Allah dan Bapa dari semua, …”.

Iman yang menyelamatkan – the saving faith – memiliki tiga unsur utama – notitia, assensus, dan fiducia. Ketiganya membentuk urutan yang logis. Iman dimulai dengan notitia atau pengetahuan. Notitia memimpin kepada assensus atau pengakuan intelektual terhadap kebenaran Injil. Akhirnya, assensus mengantar kepada fiducia atau komitmen, penyerahan diri kepada kebenaran Injil. Pandangan ini bukan cuma produk pikiran manusia, tapi kesimpulan dari penelitian yang bertanggung jawab terhadap ajaran Alkitab tentang iman.

Iman yang sejati tidaklah buta, tapi bertumpu pada pengetahuan tentang apa atau siapa yang diimani. Para penulis PB kadangkala mengenakan kata “pistis” kepada Allah untuk menyatakan karakter-Nya. Di sini, “pistis” berarti kesetiaan, seperti di Roma 3:3: “Jadi bagaimana, jika di antara mereka ada yang tidak setia, dapatkah ketidaksetiaan itu membatalkan kesetiaan Allah?”. Juga di 1 Korintus 1:9: “Allah, yang memanggil kamu kepada persekutuan dengan Anak-Nya Yesus Kristus, Tuhan kita, adalah setia”. Begitu juga di 2 Timotius 2:18: “Jika kita tidak setia, Dia tetap setia, karena Dia tidak dapat menyangkal diri-Nya”. Yang terakhir ini adalah bagian dari kumpulan pernyataan yang dibuka dengan rumusan: “Benarlah perkataan ini” (ay. 11a). Terjemahan yang lebih tepat: “berdiri teguhlah perkataan ini” atau “dapat dipercayalah perkataan ini” (Yun. pistos ho logos). Perkataan ini tak tergoyahkan dan dapat dipercaya sepenuhnya karena berakar pada karakter Allah yang setia. Kesetiaan Allah dipertaruhkan di dalamnya. Iman yang sejati bertumpu pada pengetahuan tentang karakter Allah yang setia.

Di Roma 10:17, Rasul Paulus menyatakan bahwa “iman timbul dari pendengaran, dan pendengaran oleh firman Kristus”. Lahirnya iman dimulai dari mendengar Injil, yang mengisi akal budi kita dengan notitia atau pengetahuan. Pengetahuan tentang siapa Kristus dan apa yang telah dikaryakan-Nya bagi manusia.

Pada beberapa kesempatan, Rasul Paulus menggunakan kata “pistis” dengan kata sandang, untuk menyatakan seluruh bangunan ajaran dan keyakinan Kristen. Misalnya, dalam Galatia 1:23. Di sana, sang rasul berbicara tentang iman yang diberitakannya, yang sebelumnya pernah hendak dibinasakannya. Dalam 2 Korintus 13:5, Rasul Paulus mendorong para pembacanya untuk memeriksa diri sendiri, apakah mereka “tetap tegak di dalam iman”. Pernyataan ini bisa berarti “tetap beriman,” namun lebih tepat dipahami sebagai “tetap memegang apa yang selama ini diimani.” Jadi, tercakup dalam iman pengetahuan tentang pokok-pokok keyakinan Kristen. John Calvin menyebutnya “pengetahuan tentang Allah”.

Notitia diikuti dengan assensus atau pengakuan intelektual terhadap klaim-klaim kebenaran yang termuat dalam pesan Injil. Seperti tertulis dalam Roma 10:9: “Jika kamu mengaku dengan mulutmu, bahwa Yesus adalah Tuhan, dan percaya dalam hatimu, bahwa Allah telah membangkitkan Dia dari antara orang mati, maka kamu akan diselamatkan”. Assensus berarti “percaya bahwa,” “believe that,” atau “have faith that.”

Bagaimana pun, iman tidak berakhir pada notitia atau assensus. Iman yang menyelamatkan mencakup komitmen atau penyerahan diri. Untuk diselamatkan tidak cukup “percaya bahwa,” “believe that,” tapi harus sampai “percaya kepada,” “believe in,” atau “believe unto.” Seperti tertulis dalam Yohanes 3:16: “… setiap orang yang percaya kepada-Nya tidak binasa, melainkan beroleh hidup yang kekal”.

Kita dapat melukiskan pergerakan dari notitia dan assensus ke fiducia dengan sebuah analogi dari kehidupan sehari-hari. Sadarkah Saudara bahwa setiap kali menduduki sesuatu, biasanya kursi, kita sudah melewati proses iman? Saya baru benar-benar menyadarinya ketika bersama rekan-rekan sepelayanan berkunjung ke rumah sepasang suami-isteri di daerah Gunung Kidul. Namanya Mbah Karso dan Mbah Karso Putri. Rumahnya bukan cuma sederhana, tapi benar-benar reyot dan lapuk. Kayu-kayunya tampak sudah sangat tua dan keriput, setua dan sekeriput Mbah Karso sendiri. Begitu juga perabot yang ada di dalamnya. Ketika Mbah Karso Putri mempersilakan kami duduk di sebuah dipan kayu, tanpa berpikir panjang saya menjawab, “Terimakasih, tidak usah Mbah, kami berdiri saja.” Tanpa berpikir panjang bukan berarti tidak berpikir sama sekali. Dalam tempo yang sangat singkat itu, sepersekian detik, berlangsung proses iman. Secara reflek mata saya langsung mengamati dipan kayu yang ditunjuk Mbah Karso Putri. Pengamatan itu memberikan informasi kepada akal budi saya: reyot, lapuk, kerangka tidak kokoh, risiko patah tinggi kalau diduduki. Karena itu, saya langsung memutuskan: saya tidak akan mendudukinya, supaya dipan itu tidak patah. Dalam tempo sepersekian detik, berlangsung proses iman. Proses itu berhenti sampai di notitia atau pengetahuan. Setelah peristiwa itu saya merenung, tentu bisa lain ceritanya jika pengamatan saya terhadap dipan itu menginformasikan bahwa ia cukup kokoh untuk menyangga beban tubuh saya. Saya mungkin akan memutuskan untuk mendudukinya. Itu berarti proses iman saya tidak berhenti di notitia, tapi sampai di assensus atau pengakuan bahwa dipan itu sanggup menyangga beban tubuh saya. Dan jika akhirnya saya bertindak menduduki dipan itu, sehingga saya benar-benar menikmati kekuatannya menyangga tubuh saya, berarti proses iman saya sempurna – sampai di fiducia.

Begitu juga dengan iman yang menyelamatkan. Proses iman itu dimulai dengan notitia atau pengetahuan tentang Kristus dan karya-Nya. Diikuti dengan assensus atau pengakuan bahwa hal itu benar. Akhirnya, disempurnakan dengan fiducia atau komitmen kepada kebenaran tersebut – penyerahan diri kepada Yesus sang Mesias dan Tuhan.

Dalam terang pemahaman akan anatomi iman yang menyelamatkan ini, apa arti satu dalam iman? Itu berarti kita sama-sama bertekad untuk setia mempelajari firman Tuhan, memegangnya, dan menghidupinya, sehingga seluruh kebenaran Allahlah yang mendasari perilaku kita, menuntun langkah kita, dan membentuk karakter kita. Secara praktis, itu berarti kita harus mendisiplin diri untuk membaca Alkitab, mengikuti pembinaan-pembinaan di gereja ini, melakukan pesan-pesan yang disampaikan dari mimbar, bersedia ditegur, dan mengambil bagian dalam pelayanan gerejawi.

Merendahkan diri

Memiliki kerendahan hati adalah syarat mutlak mengalami pemulihan karena Tuhan menentang orang yang congkak atau tinggi hati. Saat kita merasa mampu, tidak butuh bantuan orang lain, merasa lebih baik apalagi tidak mengandalkan Tuhan maka sebenarnya kita sudah hancur hanya saja belum kelihatan. Kita harus merendahkan diri dihadapan Tuhan dan menundukkan diri kepada firmanNya. Ingat! Di luar Tuhan kita tidak dapat melakukan apa-apa