Rabu, 08 September 2010

Satu tubuh, … satu Roh, … satu Tuhan, satu iman, satu baptisan, satu Allah dan Bapa dari semua, …”.

Iman yang menyelamatkan – the saving faith – memiliki tiga unsur utama – notitia, assensus, dan fiducia. Ketiganya membentuk urutan yang logis. Iman dimulai dengan notitia atau pengetahuan. Notitia memimpin kepada assensus atau pengakuan intelektual terhadap kebenaran Injil. Akhirnya, assensus mengantar kepada fiducia atau komitmen, penyerahan diri kepada kebenaran Injil. Pandangan ini bukan cuma produk pikiran manusia, tapi kesimpulan dari penelitian yang bertanggung jawab terhadap ajaran Alkitab tentang iman.

Iman yang sejati tidaklah buta, tapi bertumpu pada pengetahuan tentang apa atau siapa yang diimani. Para penulis PB kadangkala mengenakan kata “pistis” kepada Allah untuk menyatakan karakter-Nya. Di sini, “pistis” berarti kesetiaan, seperti di Roma 3:3: “Jadi bagaimana, jika di antara mereka ada yang tidak setia, dapatkah ketidaksetiaan itu membatalkan kesetiaan Allah?”. Juga di 1 Korintus 1:9: “Allah, yang memanggil kamu kepada persekutuan dengan Anak-Nya Yesus Kristus, Tuhan kita, adalah setia”. Begitu juga di 2 Timotius 2:18: “Jika kita tidak setia, Dia tetap setia, karena Dia tidak dapat menyangkal diri-Nya”. Yang terakhir ini adalah bagian dari kumpulan pernyataan yang dibuka dengan rumusan: “Benarlah perkataan ini” (ay. 11a). Terjemahan yang lebih tepat: “berdiri teguhlah perkataan ini” atau “dapat dipercayalah perkataan ini” (Yun. pistos ho logos). Perkataan ini tak tergoyahkan dan dapat dipercaya sepenuhnya karena berakar pada karakter Allah yang setia. Kesetiaan Allah dipertaruhkan di dalamnya. Iman yang sejati bertumpu pada pengetahuan tentang karakter Allah yang setia.

Di Roma 10:17, Rasul Paulus menyatakan bahwa “iman timbul dari pendengaran, dan pendengaran oleh firman Kristus”. Lahirnya iman dimulai dari mendengar Injil, yang mengisi akal budi kita dengan notitia atau pengetahuan. Pengetahuan tentang siapa Kristus dan apa yang telah dikaryakan-Nya bagi manusia.

Pada beberapa kesempatan, Rasul Paulus menggunakan kata “pistis” dengan kata sandang, untuk menyatakan seluruh bangunan ajaran dan keyakinan Kristen. Misalnya, dalam Galatia 1:23. Di sana, sang rasul berbicara tentang iman yang diberitakannya, yang sebelumnya pernah hendak dibinasakannya. Dalam 2 Korintus 13:5, Rasul Paulus mendorong para pembacanya untuk memeriksa diri sendiri, apakah mereka “tetap tegak di dalam iman”. Pernyataan ini bisa berarti “tetap beriman,” namun lebih tepat dipahami sebagai “tetap memegang apa yang selama ini diimani.” Jadi, tercakup dalam iman pengetahuan tentang pokok-pokok keyakinan Kristen. John Calvin menyebutnya “pengetahuan tentang Allah”.

Notitia diikuti dengan assensus atau pengakuan intelektual terhadap klaim-klaim kebenaran yang termuat dalam pesan Injil. Seperti tertulis dalam Roma 10:9: “Jika kamu mengaku dengan mulutmu, bahwa Yesus adalah Tuhan, dan percaya dalam hatimu, bahwa Allah telah membangkitkan Dia dari antara orang mati, maka kamu akan diselamatkan”. Assensus berarti “percaya bahwa,” “believe that,” atau “have faith that.”

Bagaimana pun, iman tidak berakhir pada notitia atau assensus. Iman yang menyelamatkan mencakup komitmen atau penyerahan diri. Untuk diselamatkan tidak cukup “percaya bahwa,” “believe that,” tapi harus sampai “percaya kepada,” “believe in,” atau “believe unto.” Seperti tertulis dalam Yohanes 3:16: “… setiap orang yang percaya kepada-Nya tidak binasa, melainkan beroleh hidup yang kekal”.

Kita dapat melukiskan pergerakan dari notitia dan assensus ke fiducia dengan sebuah analogi dari kehidupan sehari-hari. Sadarkah Saudara bahwa setiap kali menduduki sesuatu, biasanya kursi, kita sudah melewati proses iman? Saya baru benar-benar menyadarinya ketika bersama rekan-rekan sepelayanan berkunjung ke rumah sepasang suami-isteri di daerah Gunung Kidul. Namanya Mbah Karso dan Mbah Karso Putri. Rumahnya bukan cuma sederhana, tapi benar-benar reyot dan lapuk. Kayu-kayunya tampak sudah sangat tua dan keriput, setua dan sekeriput Mbah Karso sendiri. Begitu juga perabot yang ada di dalamnya. Ketika Mbah Karso Putri mempersilakan kami duduk di sebuah dipan kayu, tanpa berpikir panjang saya menjawab, “Terimakasih, tidak usah Mbah, kami berdiri saja.” Tanpa berpikir panjang bukan berarti tidak berpikir sama sekali. Dalam tempo yang sangat singkat itu, sepersekian detik, berlangsung proses iman. Secara reflek mata saya langsung mengamati dipan kayu yang ditunjuk Mbah Karso Putri. Pengamatan itu memberikan informasi kepada akal budi saya: reyot, lapuk, kerangka tidak kokoh, risiko patah tinggi kalau diduduki. Karena itu, saya langsung memutuskan: saya tidak akan mendudukinya, supaya dipan itu tidak patah. Dalam tempo sepersekian detik, berlangsung proses iman. Proses itu berhenti sampai di notitia atau pengetahuan. Setelah peristiwa itu saya merenung, tentu bisa lain ceritanya jika pengamatan saya terhadap dipan itu menginformasikan bahwa ia cukup kokoh untuk menyangga beban tubuh saya. Saya mungkin akan memutuskan untuk mendudukinya. Itu berarti proses iman saya tidak berhenti di notitia, tapi sampai di assensus atau pengakuan bahwa dipan itu sanggup menyangga beban tubuh saya. Dan jika akhirnya saya bertindak menduduki dipan itu, sehingga saya benar-benar menikmati kekuatannya menyangga tubuh saya, berarti proses iman saya sempurna – sampai di fiducia.

Begitu juga dengan iman yang menyelamatkan. Proses iman itu dimulai dengan notitia atau pengetahuan tentang Kristus dan karya-Nya. Diikuti dengan assensus atau pengakuan bahwa hal itu benar. Akhirnya, disempurnakan dengan fiducia atau komitmen kepada kebenaran tersebut – penyerahan diri kepada Yesus sang Mesias dan Tuhan.

Dalam terang pemahaman akan anatomi iman yang menyelamatkan ini, apa arti satu dalam iman? Itu berarti kita sama-sama bertekad untuk setia mempelajari firman Tuhan, memegangnya, dan menghidupinya, sehingga seluruh kebenaran Allahlah yang mendasari perilaku kita, menuntun langkah kita, dan membentuk karakter kita. Secara praktis, itu berarti kita harus mendisiplin diri untuk membaca Alkitab, mengikuti pembinaan-pembinaan di gereja ini, melakukan pesan-pesan yang disampaikan dari mimbar, bersedia ditegur, dan mengambil bagian dalam pelayanan gerejawi.

Tidak ada komentar: